Rabu, 01 Juni 2011

Motivasiku

BANGKIT SEGERA!!!

” BANGKITLAH! SETIAP ORANG PASTI PERNAH GAGAL, YANG PENTING ANDA HARUS BANGKIT “

~ BILLI PS. LIM ~

> Kegagalan itu hal biasa. Kalau aku tidak mau bangkit itu yang luar biasa, karena meremehkan diriku sendiri yang punya kekuatan.

> Aku siap dan berani untuk menghadapi saat harus gagal. Karena setelah itu pasti ada jalan untuk sukses.

> Dengan adanya kegagalan, justru membuat aku semakin kuat dan bergairah pada kesuksesan.

> Tidak ada waktu bagiku untuk meratapi dan menyesali pada kegagalan, capek deeh. . . !

> Aku punya roh kebangkitan, bukan roh yang lumpuh, sebab itu aku takkan tenggelam dalam kegagalan.

> Kegagalan-kegagalan yang datang padaku
semakin akan membuat aku antusias untuk bangkit, karena aku tahu kesuksesan akan segera datang.

# Tuhan. . . Aku percaya saat aku terjatuh dan menderita , Engkau akan datang dan mengangkatku. Terimakasih Tuhan, sebab itu lah sampai hari ini aku tetap dapat berdiri tegak mengadapi kegagalan yang aku alami.

————————————————————–

Minggu Kedua

TANAMKAN KEYAKINAN DIRI
” TIDAK ADA PANDANGAN YANG LEBIH MENYEDIHKAN DARIPADA ORANG MUDA YANG PESIMIS “
~ Mark Twain ~

> Aku pasti dapat dan bisa meraih kesuksesan.

> Aku harus bisa merubah sifat-sifat burukku dengan disiplin.

> Kalau aku ada kemauan, apapun aku bisa .

> Aku tidak akan kalah dan terpuruk , walau seberat apapun masalah yang aku hadapi.

> Setiap langkahku pasti dan percaya diri dalam menghadapi setiap persoalan.

> Aku pasti bisa menjadi pemenang dalam pertarungan hidup ini. Siapa takut!

# Tuhan. . .jadikanlah aku sebagai manusia yang selalu memiliki optimisme dan pikiran-pikiran yang positif dalam setiap langkah hidupku . Aku yakin karena selalu bersamaMU.

TINGGALKAN MASA LALU YANG KELAM, UNTUK MASA DEPAN YANG CERAH

” Masa lalu merupakan sebuah unggun api, bila anda ingin mempelajarinyan sesuatu darinya. Jika tidak, janganlah membuang waktu dengan merenunginya “


_ GEORGE WASHINGTON _

  • Jangan pernah untuk meratapi dan menangis masa yang kelam dan yang sudah berlalu.
  • Kalau ada kebaikan masa lalu, bawalah dia…tapi tinggalkanlah kalau hanya keburukan.
  • Yang sudah berlalu adalah history, biarlah menjadi misteri, jangan catat lagi dalam diari.
  • Tinggalkan masa lalu dengan kisah - kisah yang indah sebagai kenangan masa depan.
  • Hari ini aku boleh kalah..tapi esok hari adalah hari-hari kemenanganku, dan kau tidak ada kesempatan untuk melihatnya lagi.
  • Kutinggalkan beban - beban beratku di hari kemarin untuk menikmati kelegaan hari ini.
# Oh tuhan…biarkan masa laluku yang kelam dan menyedihkan hanyalah kenangan…beri kekuatan hanya hidup untuk masa depan yang lebih cemerlang .



Motivasiku

BANGKIT SEGERA!!!

” BANGKITLAH! SETIAP ORANG PASTI PERNAH GAGAL, YANG PENTING ANDA HARUS BANGKIT “

~ BILLI PS. LIM ~

> Kegagalan itu hal biasa. Kalau aku tidak mau bangkit itu yang luar biasa, karena meremehkan diriku sendiri yang punya kekuatan.

> Aku siap dan berani untuk menghadapi saat harus gagal. Karena setelah itu pasti ada jalan untuk sukses.

> Dengan adanya kegagalan, justru membuat aku semakin kuat dan bergairah pada kesuksesan.

> Tidak ada waktu bagiku untuk meratapi dan menyesali pada kegagalan, capek deeh. . . !

> Aku punya roh kebangkitan, bukan roh yang lumpuh, sebab itu aku takkan tenggelam dalam kegagalan.

> Kegagalan-kegagalan yang datang padaku
semakin akan membuat aku antusias untuk bangkit, karena aku tahu kesuksesan akan segera datang.

# Tuhan. . . Aku percaya saat aku terjatuh dan menderita , Engkau akan datang dan mengangkatku. Terimakasih Tuhan, sebab itu lah sampai hari ini aku tetap dapat berdiri tegak mengadapi kegagalan yang aku alami.

————————————————————–

Minggu Kedua

TANAMKAN KEYAKINAN DIRI
” TIDAK ADA PANDANGAN YANG LEBIH MENYEDIHKAN DARIPADA ORANG MUDA YANG PESIMIS “
~ Mark Twain ~

> Aku pasti dapat dan bisa meraih kesuksesan.

> Aku harus bisa merubah sifat-sifat burukku dengan disiplin.

> Kalau aku ada kemauan, apapun aku bisa .

> Aku tidak akan kalah dan terpuruk , walau seberat apapun masalah yang aku hadapi.

> Setiap langkahku pasti dan percaya diri dalam menghadapi setiap persoalan.

> Aku pasti bisa menjadi pemenang dalam pertarungan hidup ini. Siapa takut!

# Tuhan. . .jadikanlah aku sebagai manusia yang selalu memiliki optimisme dan pikiran-pikiran yang positif dalam setiap langkah hidupku . Aku yakin karena selalu bersamaMU.

TINGGALKAN MASA LALU YANG KELAM, UNTUK MASA DEPAN YANG CERAH

” Masa lalu merupakan sebuah unggun api, bila anda ingin mempelajarinyan sesuatu darinya. Jika tidak, janganlah membuang waktu dengan merenunginya “


_ GEORGE WASHINGTON _

  • Jangan pernah untuk meratapi dan menangis masa yang kelam dan yang sudah berlalu.
  • Kalau ada kebaikan masa lalu, bawalah dia…tapi tinggalkanlah kalau hanya keburukan.
  • Yang sudah berlalu adalah history, biarlah menjadi misteri, jangan catat lagi dalam diari.
  • Tinggalkan masa lalu dengan kisah - kisah yang indah sebagai kenangan masa depan.
  • Hari ini aku boleh kalah..tapi esok hari adalah hari-hari kemenanganku, dan kau tidak ada kesempatan untuk melihatnya lagi.
  • Kutinggalkan beban - beban beratku di hari kemarin untuk menikmati kelegaan hari ini.
# Oh tuhan…biarkan masa laluku yang kelam dan menyedihkan hanyalah kenangan…beri kekuatan hanya hidup untuk masa depan yang lebih cemerlang .



Minggu, 17 April 2011

Briptu Norman Kamaru mendadak jadi sosok fenomenal.

Seperti kasus yang baru-baru ini. Briptu Norman Kamaru, Brimob Penyanyi Lagu India yang Moncer di YouTube

Briptu Norman Kamaru mendadak jadi sosok fenomenal. Pria yang sehari-harinya bertugas di Kesatuan Brimob Polda Gorontalo ini ramai dibicarakan berbagai kalangan.

Lucu dan menggemaskan, demikian ungkapan berbagai banyak kalangan ketika melihat aksi Briptu Norman Kamaru dalam rekaman video yang beredar di situs www.youtube.com. Ini menyusul aksinya yang menyanyikan lagu artis India Shahrukh Khan berjudul ‘’Chaiyya-Chaiyya.’’ Pasalnya, pria yang dingkat jadi anggota Polri pada 2007 itu terlihat sangat lihai dan hafal menyanyikan lagu India yang berjudul ‘’Chaiyya-Chaiyya’’. Bahkan gaya yang diperagakan Briptu Norman Kamaru sangat mirip dengan artis India, Shahrukh Khan. Usut punya usut ternyata rekaman video itu dibuat pada 9 Maret 2011 silam. Saat itu pria yang berdarah Gorontalo-Ambon ini sedang piket bersama dua rekannya Briptu Labonsa dan Briptu Fajri.

Ketiganya mulai menjalankan tugas pukul 09.00 WITA. Lalu Briptu Norman berbincang dengan Briptu Labonsa. Dalam pembicaraan itu Briptu Labonsa sempat menyentil masalah yang dialaminya. Pasca pembicaraan itu Briptu Labonsa hanya duduk diam sambil memainkan handphone miliknya. Kondisi itu membuat anak bungsu dari 9 bersaudara pasangan keluarga Idrus Kamaru dan Halimah Martinus ini pun prihatin terhadap rekannya. Maka timbullah inisiatif Briptu Norman Kamaru untuk menghibur Briptu Labonsa.

Briptu Norman lantas meminjam handphone milik Briptu Fajri. Tak lama berselang ia pun memutar lagu India berjudul ‘’Chaiyya-chayyia’’ yang tersimpan dalam memori handphone-nya. Briptu Norman pun berlaga menirukan gaya artis Shahruk Khan sambil merekam dengan menggunakan handphone milik Briptu Fajri. Kurang lebih 6 menit bergaya bak artis India, Briptu Norman menghentikan rekaman. Beberapa saat kemudian rekaman itu pun beredar di kalangan anggota Brimob Polda Gorontalo. Tapi bagi kalangan anggota Brimob Polda Gorontalo, itu hal biasa.

Sebab, Briptu Norman sering menghibur para anggota lainnya dengan bernyanyi dan bergaya ala artis India. ‘’Kadang kala ketika kami capek selesai latihan, Briptu Norman sering menghibur kami dengan menyanyikan lagu-lagu India,’’ ungkap beberapa rekan Briptu Norman ketika berbincang dengan JPNN. Sementara itu jika sebelumnya Briptu Norman cukup sulit ditemui, namun lain halnya kemarin. Setelah bertemu dengan pihak keluarga, Briptu Norman akhirnya bisa berbincang langsung dengan JPNN. Kepada JPNN, Briptu Norman menuturkan pada dasarnya rekaman video yang beredar di situs youtube itu bukan untuk cari popularitas. ‘’Saya hanya ingin menghibur teman,’’ kata Norman Kamaru. Menurutnya, ketertarikan dengan lagu India sudah berlangsung sejak ia kelas 6 SD. Saat itu ia mengoleksi kepingan CD album lagu India. Saat beranjak ke SMP ketertarikan terhadap lagu-lagu India makin bertambah ketika munculnya lagu ‘’Kuch-Kuch Hota Hai’’ yang dinyanyikan Shahruk Khan bersama Kajol.

Bahkan tak jarang ia sering di depan kelas menyanyi dan bergoyang India. ‘’Dari situ saya sering menghibur teman-teman dengan menyanyi lagu India. Dan gaya para artis India saya tonton lewat VCD,’’ ungkap pria 27 tahun itu. Sejak SD hingga jadi anggota Polri, ketertarikan Norman terhadap lagu India tak pernah surut. Bahkan kini ia telah mengoleksi 65 keping album lagu India dan 5 lagu yang jadi favorit. Antara lain ‘’Chaiyya-Chaiyya’’ dan ‘’Kuch-Kuch Hota Hai’’. Sementara itu Halimah Martinus, ibu kandung Norman mengatakan, dari kecil Norman sudah sering bernyanyi dan bergoyang lagu India. Bahkan di dalam kamar pribadinya dipenuhi poster para artis India. ‘’Setiap kali ada album lagu India yang baru pasti dia selalu beli,’’ ungkap Halimah. Ia menambahkan, kemampuan Norman bernyanyi tak lepas dari kebiasaan keluarga. Di mana setiap ada waktu luang Halimah dan suaminya sering bernyanyi di rumah bersama anak-anaknya. Saat itu kami sekeluarga bernyanyi hanya menggunakan keroncong,’kenang Halimah sembari tersenyum.

Apakah (what) penampilan Norman di depan rekan-rekannya dan Kapolda adalah bentuk hukuman? Anang membantah. Kata dia, Briptu Norman sudah diberi sanksi. "Anak buah saya memang sudah dikasih sanksi, dan sanksinya itu bersifat teguran, berlangsung sejak kemarin pasca pemeriksaan dan interview," kata dia.

Siapa (who) Briptu Norman Kamaru, Brimob Penyanyi Lagu India yang Moncul di YouTube Pria yang sehari-harinya bertugas di Kesatuan Brimob Polda Gorontalo ini ramai dibicarakan berbagai kalangan.

Diman (where) Berdasarkan penjelasan dari brimob Norman Kamaru awal beredarnya video itu Awalnya di lingkungan Brimob saja. Enggak nyangka kalau sampai meluas begini,” tandasnya. Menurut Anang, jika mengedepankan hukum positif apa yang dilakukan Norman melanggar disiplin. Apalagi, pada saat menjaga posko ada prosedur tetap yang tak boleh dilanggar. "Misalnya, tidak boleh buka baret. Kemudian, tidak boleh bercanda berlebihan." Teguran yang dilayangkan ke Norman: "Kami minta silakan kreasi, berseni, tapi jangan mengulangi saat jaga posko."

Lalu mengapa (whay) Norman hanya ditegur? Di sisi lain saya harus bersikap bijak kepada anak buah. Apalagi dalam interview, ia mengaku tak punya motivasi apa-apa selain menghibur teman yang sedang ada masalah. Ditambahkan Norman, sepanjang yang ia tahu, sejak SMP Norman memang suka seni. "Dia selalu menghibur, ada-ada saja guyonannya."

Bagaiman (how) hal itu bias terjadi Norman mengatakan, aksi yang dia lakukan merupakan spontanitas. Ketika itu, dia hendak menghibur kawan di sebelahnya yang sedang bermasalah dengan istrinya.“Dia lagi ada masalah keluarga. Makanya dia keliatan serius. Padahal saya mau menghibur dia,” jelas Norman.

Sementara, meski menghargai apa yang dilakukan Norman, Juru Bicara Polda Gorontalo AKBP Wilson Damanik mengatakan ada tiga kesalahan yang dilakukan Norman: tak berwibawa saat pakai baju polisi dan tugas, videonya diunggah ke YouTube, dan ada tindikan di lidahnya. Untuk ukuran polisi, dia terlalu 'gaul'. Meski apa yang dilakukan Norman tak berkenan di hati para atasannya, publik justru memberikan dukungan.

Di laman jejaring sosial, Facebook, beberapa grup khusus didedikasikan untuk Pak Polisi lucu itu. Salah satunya, grup 'Satu Juta Mendukung BRIPTU NORMAN KAMARU' yang telah menjaring 7.121 dukungan. Seorang facebooker, Fandy Rockafada menyatakan dukungannya: "Buat Briptu Norman hadapi aja dengan senyuman. Kami mendukungmu dan yang berikan sanksi itu sudah salah besar. Masa orang yang mempunyai kreatifitas di salahkan apa kata dunia? Mending urus aja itu para tikus tikus koruptor yang makan uang rakyat." Sementara facebooker lain, Albert Halomoan Pasaribu menulis," SBY saja boleh nyanyi, menteri boleh nyanyi."

Para pendukung Briptu Norman juga membuat grup 'Menolak Hukuman Briptu. Norman Kamaru (Video Polisi Gorontalo Menggila)' yang menjaring 542 dukungan, lalu ada grup 'Gerakan Dukung Briptu Norman Kamaru' yang didukung 3.581 Facebooker, dan grup 'Salahkah dia? (kami dukung Briptu Norman Kamaru)' yang didukung 266 orang. Dukungan juga mengalir ke akun Facebook 'Norman Kamaru'. Ratusan orang mengomentari status terakhirnya di Facebook, yang ia tulis 18 jam lalu. Dari status-statusnya di facebook, juga Twitter, bisa dilihat seperti apa karakter pria kelahiran 1 Januari 1985 itu. Dalam Twitter @norman kamaru tertulis: Cara mendapatkan pacar dengan "3 N" 1.Narsis 2.Nalar Kalau masih gagal juga cobain yg ke 3 pasti jitu : 3. Ngaca!!.

Jumat, 11 Desember 2009

Jurnalisme Warga (Gereja)


Oleh Andreas Harsono
Seri Pendidikan Media, Komunikasi dan Kebudayaan
Yakoma PGI



HASUDUNGAN Sirait mudah dikenali dengan kumis baplang ala Joseph Stalin. Namun nada bicaranya lembut. Celananya, warna krem model pendaki gunung dengan banyak kantong. Kesannya, bergaya anak muda.

Suatu siang September lalu, saya menemui Sirait di kedai kopi Starbucks di Plasa Semanggi, sebuah mal Jakarta, untuk bicara soal kegiatannya dua tahun terakhir ini. Sirait beberapa kali membantu Yayasan Komunikasi Massa PGI (Yakoma PGI) melatih para pekerja media gereja. PGI singkatan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Ia adalah organisasi payung 86 gereja-gereja Protestan di Indonesia sejak berdiri Mei 1950. Saya ingin tahu bagaimana Sirait memandang media komunitas gereja-gereja ini?

Dia memesan kopi. Saya mengambil teh hijau.

“Aku latar belakang HKBP,” katanya.

Huria Kristen Batak Protestan, atau HKBP, adalah gereja dengan sekitar 3 juta anggota. Ini menjadikan HKBP sebagai gereja terbesar, bukan saja di Indonesia, namun juga di Asia Tenggara. Mayoritas anggotanya, tentu saja, orang Batak. Pusatnya ada di Pearaja, sebuah desa di Kabupaten Tapanuli Utara.

Sirait menambahkan dia juga pernah memberi pelatihan berbagai media pesantren di Pulau Jawa. Institut Studi Arus Informasi, sebuah organisasi nirlaba Jakarta, pernah minta Sirait membantu pelatihan media pesantren. “Aku (dulu) lebih akrab dengan pesantren daripada gereja.”

Ketika Yakoma PGI minta dia ikut melatih media gereja, Sirait minta waktu untuk mempelajari beberapa penerbitan gereja. “Setelah Tobelo dan Batam, baru pemahaman aku lebih komprehensif,” katanya.

Tobelo, sebuah kota di Pulau Halmahera, didatangi Sirait ketika Yakoma PGI mengadakan lokakarya media gereja 24-28 April 2007. Dia juga bicara dalam acara pelatihan 25-29 Juni 2007, yang diadakan Gereja Batak Kristen Protestan, di Pulau Batam. Agustus lalu, Sirait ikut jadi instruktur semiloka “media rakyat” di Manado.

Saya mulai mengenal Hasudungan Sirait ketika rezim Presiden Soeharto membredel mingguan Detik, Editor dan Tempo pada Juni 1994. Kami sama-sama protes pembredelan tersebut. Kami juga sama-sama ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih, pada 7 Agustus 1994, guna mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah serikat wartawan untuk melawan sensor media.

Waktu itu ada peraturan bahwa satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah Indonesia adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ikut meneken Deklarasi Sirnagalih berarti melanggar hukum. Departemen Penerangan dan PWI minta polisi menindak anggota-anggota AJI. Ada empat kawan kami masuk penjara: Ahmad Taufik, Danang K. Wardoyo, Eko Maryadi dan Tri Agus Siswowiharjo. Sirait dipecat dari PWI. Dia juga kehilangan pekerjaan dari Bisnis Indonesia. Dia lantas bekerja untuk mingguan D&R selama tiga tahun, secara anonim. AJI baru bisa bergerak di atas tanah sesudah Presiden Soeharto mundur dari tahta pada Mei 1998. Empatbelas tahun berlalu, Sirait kini lebih sering jadi instruktur wartawan. Dia tinggal di Bogor, sudah menikah dengan dua anak, serta belakangan merintis majalah bulanan etnik Batak bernama Tatap.

Sirait seorang trainer yang baik. “Wartawan berkualitas,” kata Jufri Simorangkir dari Suara GKPI, bulanan milik Gereja Kristen Protestan Indonesia, yang berpusat di Pematang Siantar. Pendeta Simorangkir mengenal Sirait ketika ikut program di Batam.

Menurut Hasudungan Sirait, persoalan utama media gereja-gereja Protestan di Indonesia, baik di sebelah barat (Jawa dan Sumatera) maupun timur (Sulawesi, Sangir, Talaud, Halmahera, Ambon, Sumba dan sebagainya) adalah kekurangan perhatian dari para pemimpin sinode.

“Pengurus media pesantren hebat, sumber daya manusia berlapis-lapis, training lebih sering diadakan di kalangan pesantren. Yang bisa menyamai teman-teman Muslim hanya media Katholik,” kata Sirait.

“Kecenderungan sinode (gereja Protestan) gagah-gagahan bikin media.”

Namun alokasi biaya sedikit, tidak ada tim khusus, tidak ada guidance. “Kalau terbit ya sekali setahun atau dua kali.”

Isi media gereja-gereja Protestan, cenderung masih hanya khotbah, peletakan batu pertama atau seremoni gereja. Dari segi tata letak, umumnya tidak menarik. Kebanyakan media gereja sangat tergantung hanya pada kerajinan dan ketekunan pengurus media itu sendiri. “Kalau yang ngurus rajin, ya sering terbit, kalau tidak, ya ngacak.” Banyak pengelola media gereja mengharapkan ada kebijakan khusus dari gereja agar media dikelola sungguh-sungguh. Namun ketika pengurus media bikin terobosan sendiri, mereka sering diveto oleh sinode.

Saya menelepon Greenhill Weol di Tomohon untuk minta masukannya soal media gereja di Minahasa. Weol redaktur budaya radio Suara Minahasa. Tomohon adalah ibukota intelektual Minahasa. Markas besar Gereja Masehi Injili Minahasa, gereja terbesar di Pulau Sulawesi, juga terletak di Tomohon. Radio Suara Minahasa dikelola oleh Yayasan Suara Nurani pimpinan Bert A. Supit, seorang cendekiawan Minahasa, yang dulu juga mengurus GMIM. Weol mengatakan di Minahasa, GMIM juga punya beberapa penerbitan namun kadang-kadang terbit, kadang-kadang tidak. “Dana ada kalau ada proyek politik,” kata Weol. Maksudnya, bila ada politikus Minahasa lagi kampanye, dia bisa memberikan dana kepada penerbitan gereja. “Asal ada tiga atau lima fotonya dimuat,” kata Weol. Politisi Minahasa, tentu saja, suka berdekatan dengan GMIM mengingat gereja ini paling besar di Sulawesi Utara.

Pendeta Jufri Simorangkir cerita pada Februari 2006, dia ditunjuk sinode Gereja Kristen Protestan Indonesia menyunting Suara GKPI. “Dua tahun saya mengelola majalah ini sendirian. Saya yang mengetik. Saya yang ambil foto. Saya yang antar ke percetakan. Saya yang distribusi.” Tebal majalah antara 90 hingga 112 halaman.

Setiap bulan, Simorangkir mengambil hasil cetakan majalah di Medan. Dalam perjalanan pulang Medan-Pematang Siantar, biasa ditempuh tiga jam, Simorangkir dan seorang sopir mengantar 1,200 dari 3,000 Suara GKPI ke berbagai jemaat GKPI.

Menariknya, ketika ditunjuk untuk mengelola Suara GKPI, Simorangkir bahkan belum kenal komputer. “Modal kosong semua!” katanya. Dia harus belajar mengetik. Pelatihan Yakoma PGI, yang diikutinya di Batam, dinilainya sangat berguna. Dia belajar bahwa ruang redaksi dan usaha harus dipisah. Kini Suara GKPI sudah mendapat tambahan seorang karyawan. Simorangkir juga tidak menambah materi khotbah di Suara GKPI. Bahkan majalahnya kini sudah ada cerita pendek, humor dan banyak berita.

Simorangkir memuji majalah milik Gereja Batak Karo Protestan dan Gereja Kristen Protestan Simalungun. “Mereka sudah lebih terbuka. Iklan-iklan sudah masuk.”

Saya tanya Sirait, dari pengalamannya melatih media gereja, media mana saja yang tergolong baik?

“Yang paling baik GKJW Malang,” jawabnya.

“Rapi sekali mereka.”

Gereja Kristen Jawi Wetan, atau GKJW, adalah gereja Jawa timuran dengan pusat kota Malang. Mayoritas anggotanya, tentu saja, orang Jawa. Sinode gereja ini didirikan pada Desember 1931. Kini anggotanya sekitar 150,000 orang. Jumlah ini sangat kecil bila diingat Jawa Timur adalah basis Nahdlatul Ulama. Total populasi Provinsi Jawa Timur sekitar 34.5 juta dan sekitar 96 persen warga Muslim.

Sirait mengatakan ketika membaca Warta GKJW, dia merasa pengelola Warta GKJW terlihat upayanya serius melibatkan umat. Ada lembaran remaja, ada lembar orang tua, ada berita perkembangan di kitaran warga. Jufri Simorangkir juga setuju dengan kesimpulan Sirait. Simorangkir menyebut Warta GKJW mirip “majalah sekuler” … walau 80 persen isinya “soal rohani.”

Di kalangan HKBP sendiri, menurut Sirait, ada majalah Immanuel yang sudah berumur 120 tahun dan terbit dari Peuraja. Majalah bulanan ini terbit terus-menerus, tidak terganggu, dulu format kecil, kini format majalah. “Cuma isinya sabda pendeta semua.”

“Sayang!”

“Pengasuhnya pendeta semua.”

Saya mengalami kesulitan menghubungi Siman P. Hutahean, pendeta yang merangkap pemimpin redaksi Immanuel. Saya hubungi lebih dari 10 kali lewat telepon HKBP Peuraja, namun tak berhasil. Hutahean termasuk pendeta yang ikut acara Yakoma PGI di Batam.

Kalau format Immanuel tidak bisa ditawar, Sirait usul HKBP bikin outlet yang lebih interaktif, untuk remaja, anak-anak dan dewasa. Dunia media sudah berubah. Kini sudah ada televisi, internet, radio komunitas, blog, You Tube, Facebook dan macam-macam. Namun mayoritas media gereja masih bergulat dengan majalah. Media gereja kurang dalam banyak hal. “Cari duit nggak susah, cari orang yang susah. (Media) Katolik jauh lebih baik,” katanya.

Media gereja Protestan, juga kurang berkembang karena ada kekuatiran di kalangan sinode, media bisa jadi bumerang. “Takut disasar. Padahal tidak juga,” kata Sirait.

Dampaknya, ada kesenjangan informasi antara gereja dan umat. Umat sangat dinamis, dapat informasi dari mana-mana. “Itu tidak bisa diimbangi gereja. Paradigma gereja tidak berubah. Mereka cenderung menapis, semacam pakai kacamata kuda.”

Kalau informasi umum juga ada di media gereja, maka gereja bisa memberitahu soal, misalnya, mengapa harga-harga bahan pangan naik atau mengapa banyak korupsi. “Gereja nggak hanya isinya khotbah soal keselamatan,” kata Sirait.

Dia berpendapat media gereja seharusnya jadi media komunitas, “Dari kita, untuk kita. Bagaimana antara jemaat gereja bisa sharing pengalaman? Itu tidak mereka dapatkan dari Kompas atau Suara Pembaruan atau Suara Merdeka.”

Pukul dua siang, Hasudungan Sirait bilang mau pulang agar bisa tepat waktu untuk “memandikan anak.” Saya tersenyum. Si kumis baplang ini bahagia sekali bisa memandikan anak-anaknya setiap sore. Kami meninggalkan Plasa Semanggi.



PADA awal Juli 2008, selama empat hari saya jadi trainer dalam sebuah pelatihan situs web Panyingkul.com di Makassar. Kata "panyingkul" dalam bahasa Makassar artinya persikuan atau pertigaan. Panyingkul sebuah media nirlaba, yang mengusung citizen journalism atau "jurnalisme orang biasa."

Pesertanya ada 11 orang. Pelatihan diadakan di Biblioholic, sebuah perpustakaan publik, di Jl. Perintis Kemerdekaan Km 9. Perpustakaan ini terletak dalam sebuah rumah besar yang disewa oleh Matsui Kazuhisa, seorang konsultan Japan International Cooperation Agency. Matsui meminjamkan ruang tamu serta lantai dua rumah ini untuk kegiatan anak-anak muda. Siang malam, selalu ada anak muda berkumpul.

Panyingkul.com menyebut para wartawannya sebagai "citizen reporter." Sengaja dalam bahasa Inggris, sesuai terminologi aslinya dari Oh My News, sebuah situs web dari Korea Selatan, agar tak timbul salah paham. Lily Yulianti, redaktur Panyingkul, mengatakan rekan-rekannya dari Oh My News International di Norwegia, Israel maupun Brazil, juga tak menterjemahkan "citizen reporter" ke bahasa masing-masing. Mereka tetap pakai istilah “citizen reporter.” Lily kini bekerja sebagai wartawan radio NHK di Tokyo. Dia dulu juga pernah bekerja untuk harian Kompas dari Makassar.

Panyingkul adalah sebuah fenomena penting dalam jurnalisme di Makassar. Tujuan mereka melawan dominasi media mainstream yang meletakkan loyalitas terhadap warga lebih rendah daripada loyalitas kepada pemilik media, penguasa maupun pemasang iklan. Lily rajin melancarkan kritik terhadap media Makassar macam harian Fajar maupun Tribun Timur.

Selama empat hari, kami belajar dengan macam-macam contoh. Saya mengajak peserta diskusi soal-soal dasar dalam jurnalisme. Bagaimana bikin wawancara? Bagaimana merekam dan menulis deskripsi? Bagaimana menggunakan monolog dan dialog? Kami juga membaca beberapa naskah, termasuk "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" karya Alfian Hamzah, maupun "Hiroshima" karya John Hersey. Kami juga menonton dokumentasi pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Para peserta punya background macam-macam. Ada arkeolog, ada pelaut, ada peneliti. Beberapa mahasiswa juga ikutan. Ketika memeriksa pekerjaan rumah mereka, saya senang melihat kecepatan mereka menangkap materi latihan.

Saya bertanya-tanya mengapa media gereja tak mencoba mengarah pada citizen journalism macam Panyingkul.com?

Panyingkul.com maupun Warta GKJW sama-sama merupakan media komunitas. Satu melayani komunitas Makassar. Satunya melayani komunitas gereja Jawa Timur. Mereka dipersatukan oleh semangat melayani warga masing-masing lewat jurnalisme.

Singkat kata, kebanyakan media, dari Immanuel hingga Suara Pembaruan, dari BBC World Service hingga Al Jazeera, melayani komunitas sesuai khayalan mereka masing-masing. Internet membuat batas khayalan menjadi lebih terbuka. Internet membuat semua orang, yang mengerti bahasa media terkait, secara teoritis bisa membaca apa isi media tersebut. Media gereja teoritis bisa mengembangkan diri lewat citizen journalism dengan melibatkan warga-warga gereja ikut mengisi media mereka.

Namun Pendeta Jufri Simorangkir memberi tanggapan. “Kelemahan majalah gereja adalah dia jadi corong pimpinan.”

Saya kira pernyataan Simorangkir, maupun kritik Sirait, mengingatkan saya bahwa media gereja kebanyakan belum menjalankan jurnalisme. Ia lebih tepat dikategorikan sebagai public relation atau propaganda. Boro-boro bicara soal citizen journalism. Jurnalisme biasa pun belum berjalan.

Propaganda adalah suatu peliputan serta penyajian informasi dimana fakta-fakta disajikan, termasuk ditekan dan diperkuat pada bagian tertentu, agar selaras dengan kepentingan kekuasaan, yang menguasai media komunikasi tersebut. Jarak propaganda dan jurnalisme bisa lebar, tapi juga bisa sangat tipis.

Jurnalisme adalah bagian dari komunikasi. Namun tak semua bentuk komunikasi adalah jurnalisme. Menyamakan propaganda dengan jurnalisme, atau menyamakan pengabaran injil dengan jurnalisme, saya kira akan menciptakan kebingungan yang serius, dengan daya rusak besar. Saya kira masalah ini perlu didiskusikan dengan jernih di kalangan gereja-gereja Protestan.

Media gereja seharusnya bekerja berdasar prinsip-prinsip jurnalisme umum. Bukan berdasarkan pada theologi Kristen. Bukan berdasar pula pada pendekatan gothak-gathok “jurnalisme Kristiani.” Saya harus menyebut isu ini karena belakangan ada saja orang yang mencoba menawarkan apa yang disebut sebagai “jurnalisme Islami.” Jargon-jargon ini akan menciptakan kekaburan. Kalau jurnalisme dikaitkan dengan pemahaman lain, entah itu fasisme, komunisme, kapitalisme atau agama apapun, definisi yang lebih tepat, saya kira, adalah propaganda.

Media gereja seyogyanya dipikirkan lebih luas untuk kepentingan umat. Ia lebih baik diletakkan secara independen dari struktur sinode. Para redakturnya tidak ikut duduk dalam kepengurusan sinode.

Namun saya juga sadar bahwa tidak semua orang, termasuk pengelola media gereja, bisa punya pemahaman yang serius terhadap suatu isu, apalagi banyak isu. Ini juga terjadi dalam dunia wartawan mainstream. Namun inilah tantangan rutin bagi setiap wartawan, profesional maupun amatir, dalam memahami suatu isu dan menuliskannya. Para pemimpin sinode sudah selayaknya mulai belajar memahami jurnalisme dan mengubah cara pandang mereka terhadap media gereja. Propaganda sebaiknya diubah jadi jurnalisme.

Lantas apakah jurnalisme itu?

Pada April 2001, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan Washington D.C., menerbitkan buku The Elements of Journalism. Mereka menyajikan sembilan elemen jurnalisme sesudah bikin diskusi dan wawancara dengan 1.200 wartawan selama tiga tahun. Buku itu segera dianggap sebagai referensi penting para wartawan. Ia diterjemahkan ke puluhan bahasa lain, termasuk Bahasa Indonesia, dan dijadikan pegangan banyak ruang redaksi. Di Jakarta, ia dipakai oleh Kompas, The Jakarta Post, Tempo, Republika, Jawa Pos dan sebagainya. Pada 2007, Kovach dan Rosenstiel menerbitkan edisi revisi dimana mereka menambahkan elemen kesepuluh khusus soal hak dan tanggungjawab warga.

Saya kira sepuluh elemen ini menerangkan dengan jernih apa jurnalisme itu.

• Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran;
• Loyalitas utama jurnalisme kepada warga;
• Esensi jurnalisme adalah verifikasi;
• Para praktisi jurnalisme harus menjaga independensi mereka dari sumber-sumber mereka;
• Jurnalisme harus berlaku sebagia pemantau kekuasaan;
• Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga;
• Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting jadi menarik dan relevan;
• Jurnalisme harus menjaga agar berita menjadi komprehensif dan proporsional;
• Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka;
• Warga punya hak dan kewajiban dalam jurnalisme.

Elemen kesepuluh muncul karena apa yang disebut Lily Yulianti sebagai citizen journalism. Intinya, warga punya hak dan kewajiban ikut berpartisipasi dalam mencari, melaporkan, menganalisis dan menyebarluaskan informasi. Elemen kesepuluh muncul, tentu saja, disebabkan oleh teknologi internet: blog, kamera telepon, You Tube, Facebook dan sebagainya. Ia membuat warga bisa berperan secara lebih luas dalam jurnalisme. Panyingkul.com membuktikan bahwa warga biasa, kebanyakan non-wartawan, bisa mengelola situs web, yang hendak menandingi media mainstream di Makassar.

Saya kira media gereja sulit menghindar dari trend ini. Cepat atau lambat, bila gereja mau tetap relevan, mereka harus membuka pintu terhadap “citizen reporter.” Blog akan jadi ujung tombak perubahan. Saya mulai memperhatikan banyak sekali anak-anak muda Kristen bicara soal Tuhan lewat blog. Media gereja bisa berkembang dengan melakukan kolaborasi lewat blogger.

Priambodo RH dari Lembaga Pers Dr. Soetomo mengatakan Agustus lalu ada sekitar 650 ribu blog di Indonesia. Jumlahnya akan meningkat seiring meningkatnya penggunaan internet. “Perkembangan jurnalisme warga saat ini baru seumur kepompong, belum menjadi kupu-kupu. Karena itu untuk melahirkan jurnalisme warga yang indah dibutuhkan pembelajaran.”

Namun banyak wartawan ragu apakah orang yang kurang terlatih dalam jurnalisme bisa menulis berita secara bertanggungjawab? Ada yang menyebut kehadiran internet menciptakan “tsunami informasi.” Isinya, kebanyakan copy-paste dan sampah. Kekuatiran ini bukan tanpa dasar. Mei lalu, Roy Thaniago, seorang mahasiswa Jakarta, menulis berita dalam blog miliknya http://thaniago.blogspot.com/ “Pastor Kemalingan, Karyawan Paroki Dipukul Polisi.”

Thaniago mempertanyakan mengapa seorang karyawan Paroki Bunda Hati Kudus, dicurigai dan dilaporkan ke polisi oleh satu pemuka gereja gara-gara pastor kehilangan uang tunai Rp 15 juta dan dua kamera. Dia menulis tanpa melakukan verifikasi pada pastor maupun si pemuka gereja. Dia sempat bikin repot gereja. Cukup ramailah!

Citizen journalism bukannya tanpa masalah. Priambodo membuat 10 panduan bagi “citizen reporter.” Mereka tidak boleh melakukan plagiat; harus cek dan ricek fakta; jangan menggunakan sumber anonim; perhatikan dan peduli hukum; utarakan rahasia secara hati-hati; hati-hati dengan opini narasumber; pelajari batas daya ingatan orang; hindari konflik kepentingan; dilarang lakukan pelecehan; serta pertimbangkan setiap pendapat.

Saya percaya makin bermutu jurnalisme dalam suatu komunitas, maka makin bermutu pula informasi dalam komunitas itu. Maka makin bermutu pula komunitas tersebut. Saya juga percaya senantiasa ada orang macam Hasudungan Sirait, yang tulus membantu para “citizen reporter” maupun media gereja untuk belajar jurnalisme dengan teratur.

“Benar sekali kritik Pak Hasudungan itu. Kalau GKPI punya orang macam Pak Hasudungan Sirait, pasti kami pakai orang berkualitas itu,” kata pendeta Simorangkir.



Andreas Harsono wartawan, pernah bekerja untuk harian The Nation (Bangkok), Associated Press Television (Hong Kong), The Star (Kuala Lumpur) dan Yayasan Pantau (Jakarta). Ia mendapatkan Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard 1999-2000. Kini sedang menulis buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

Monday, January 12, 2009

Jurnalisme dan Media

"Journalism is the closest thing I have to a religion because I believe deeply in the role and responsibility the journalists have to the people of a self-governing community"
-- Bill Kovach


Sejak kuliah, saya suka meliput media dan jurnalisme. Pada 1993, saya mulai bekerja sebagai wartawan penuh waktu. Sempat juga ikut sebuah gerakan wartawan melawan rezim Soeharto antara 1994 dan 1998. Pengalaman itu memperkaya pemahaman saya soal pentingnya kebebasan pers.

Ketika Soeharto mundur diri, macam-macam sensor pemerintah mulai dihapus. Ruang gerak pers yang lebih longgar juga bikin media, yang kurang bermutu, bermunculan bahkan bersemangat. Ada saja kelakuan mereka. Saya pikir kelonggaran ini seyoganya diimbangi dengan peningkatan mutu jurnalisme. Ini jadi makin serius ketika saya belajar dengan asuhan guru jurnalisme Bill Kovach di Universitas Harvard pada 1999-2000.

Pulang dari Harvard, saya diminta menyunting majalah Pantau, soal media dan jurnalisme. Ini periode dimana kesukaan masa kuliah berubah jadi liputan dan kritik media. Ternyata pekerjaan ini sangat berat. Tidak mudah melancarkan kritik terhadap sesama wartawan. Majalah ini ditutup pada 2003. Para kolega saya tetap melanjutkan cita-cita kami guna meningkatkan mutu jurnalisme dengan bikin Yayasan Pantau.

"Agama Saya adalah Jurnalisme"
Apa Itu Investigative Reporting?
Bagaimana Meliput Pontianak?
Apakah Wartawan Perlu Dipidanakan?
Bagaimana Cara Rekrut Wartawan?

Beasiswa untuk Wartawan
Benarkah Bila Wartawan Dekat Pejabat?
Belajar Menulis Bahasa Inggris
Byline dan Tagline
Diskusi Kurikulum Sekolah Wartawan

Diskusi Pendidikan Jurnalisme di Pulau Jawa
Freedom at the Cross Road
Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita
Independensi Bill Kovach
Indonesia: From Mainstream to Alternative Media

Indonesian Journalists on Trial
Indonesian Media at the Crossroads
Indonesian Media Bias in Covering Tsunami in Aceh [pdf]
Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat
Kapan Wartawan Mencuri?

Kebebasan Pers Bersama Andreas Harsono
Kecepatan, Ketepatan, Perdebatan
Kursus Jurnalisme Sastrawi
Media Palmerah
Menulis Butuh Tahu dan Berani

Model Pelatihan Wartawan Mahasiswa
Narrow Minded Nationalism in Aceh Aid
Pagar Api Desain Suratkabar
Quo Vadis Jurnalisme Islami?
Sembilan Elemen Jurnalisme

Sexism, Racism and Sectarianism
Tujuh Kriteria Sumber Anonim
Wartawan atau Politikus?

Rabu, 16 September 2009


Brastagi adalah tujuan wisata utama di Tanah Karo yang terletak di ketinggian sekitar 4.594 kaki dari permukaan laut dan dikelilingi barisan gunung-gunung, memiliki udara yang sejuk dari hamparan perladangan pertaniannya yang indah, luas, hijau. Brastagi merupakan daerah tujuan wisata yang memiliki fasilitas lengkap di Tanah Karo, seperti hotel berbintang, restoran, golf dan lain-lain sampai kepada hotel yang tarifnya relatif dapat terjangkau. Brastagi juga dikenal dengan julukan kota “Markisa & Jeruk Manis”.

Dari kota “Markisa & Jeruk Manis” Brastagi, para pengunjung akan menikmati pemandangan yang indah ke arah pegunungan yang masih aktif, yaitu gunung Sibayak dan gunung Sinabung.Untuk mendaki gunung Sibayak diperlukan waktu lebih kurang 3 jam perjalanan dan kita bisa menikmati pemandangan yang indah di pegunungan tersebut atau perlu waktu 3 sampai 4 jam perjalanan di hutan untuk melihat kekayaan alam di dalamnya baik flora maupun fauna di sekitar hutan tersebut.

Selain buah-buahan, Brastagi juga terkenal sebagai penghasil berbagai jenis sayur-sayuran, buah-buahan dan bunga-bunga. Di kota Brastagi dilaksanakan beberapa peristiwa pariwisata antara lain “Pesta Bunga & Buah” dan festival kebudayaan “Pesta Mejuah-juah” yang diadakan setiap tahun. Tanah Karo juga memiliki tradisi yang telah turun temurun dilakukan yaitu “Kerja Tahun” yang diselenggarakan setiap tahun oleh orang-orang Karo yang tinggal di daerah tersebut ataupun yang sudah merantau datang kembali ke perkampungan yang memiliki hubungan keluarga untuk saling berkunjung dan bersilaturahmi.



Selasa, 01 September 2009

Lagi, Produk Budaya Indonesia Diklaim Malaysia

BERITAJITU.com -- Malaysia kembali membuat gerah bangsa Indonesia. Setelah Lagu Rasa Sayange diklaim merupakan budaya Malaysia, sekarang tari pendet menyusul daftar panjang masalah ini. Hal ini terlihat dalam iklan pariwisata Malaysia yang baru.

Tari pendet merupakan tarian khas tradisional masyarakat Bali. Tari Pendet dulunya merupakan tarian pemujaan yang banyak dibawakan di pura.Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.

Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita dan gadis desa.

Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakkan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakkan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.

Tarian ini sekarang diakui sebagai hasil budaya Malaysia. Daftar panjang masalah budaya itu sudah dimulai sejak dulu untuk pertama kali Malaysia mengklaim batik kemudian disusul dengan produk budaya yang lain. Sebut saja keris, angklung, reog ponorogo, Lagu Rasa Sayange sudah lebih dulu masuk dalam daftar budaya Malaysia.

Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik pernah mengatakan akan mendata semua produk budaya Indonesia dan akan mendaftarkannya.
Sekarang seluruh masyarakat dan komunitas budaya menunggu penanganan masalah ini dari pemerintah.

Kamis, 14 Mei 2009

PRISKO GINTING

Persentabi Wisata Berastagi

Written by Bapa Egi Sitepu baru denga nginap kami i Berastagi janah sempatken kami dalan dalan kempak Lau Gumba. Ate kami ngenen Monumen/Patung Bung Karno ibas ingan pengasingan na ndube asum ia i tawan Belanda. Labo ndauh dalan protokol nari kira kira 500 meter ngenca, tapi andiko dalan ku je seh kal serana perban aspalna enggo sontar janah kawes kemuhun peren merambah. Ingan enda merupakan spot/titik wisata sejarah, tapi sitik pe la jadi perhatian PU ras Dinas Pariwisata Seni Budaya. Sebagai pengagum Bung Karno kuakap enda tergolong pelecehan. La si ergai Bapa Rayat sirulo. Emaka piah tundalken patung Bung Karno deleng Sibayak ras Deleng Sinabun, tatapna kuta Peceren, ngenen kalak nukur wajid ras pecal joren.

Lepar uruk Bukit Kubu lit kompleks Villa Berastagi High Land, wilayah Lau Gumba denga. Kerina rumah Villa i segel Dinas Pariwisata Seni dan Budaya ibas gelar Pemkab Karo. “Bangunan ini belum mendapat izin, dan di segel sementara” alu teks megara “PERINGATAN”, “Dilarang membuka segel, akan diproses secara hukum”. Si mada rumah tentu sengget janah kecewa, la tehna kai salahna. Lalit pernah alokenna surat panggilan tah peringatan, rempet rempet saja i segel. Lanai nge lit cara sideban si lebih berbudaya tahpe berseni? Mungkin maksudna ndarami retribusi tahpe Pendapatan Daerah, tapi carana kurang simpati, erban kalak ernembeh ate.

Situhuna mbue denga kal potensi wisata si banci ikembangken sekitar Berastagi ras sekelewet Taneh Karo simalem. Tapi menam la lit kreatifitas ras inovasi Pemkab Karo pemurmurken kinijilen Taneh Karo. Kuga maka la promosiken Deleng Sinabung ras Deleng Sibayak.(adi kam nabung banci kam bayak). Gunung Berapi labo mbue babo pertibi enda tapi lit dua deher kutanta. “Only a few volcanos all over the world with an exeption in Java island, but thera are two in North Sumatra, both are in the Karo high land”

Lit kap legenda “Kertah Ernala” nini Deleng Sibayak, “Beru Tandang Kumerlang” ras “Beru Tandang Suasa.” Bicara turiken enda man anak sekolah tah mahasiswa tentu tambah rincuhna nangkih Deleng Sibayak. Adi enggo kita seh das ancuk ancuk deleng, banci natap ku daksina ras kempak utara, bagepe kempak Purba ras ku Bustima. Teridah mbalmbal meratah, idah ka sampuren seh ulina

Enggo puluhen tande tahunna, pertanin taneh Karo labo reh majuna. Adi tek kam pedah kakatua, pariwisata nge cot na dogolta. Baju dinas ola pejegir bana cirem mehamat kam man temuenta. Reh buena kade kadenta, lanai rate tedeh mulih ku kuta. Ola pada pindo karcisna adi atena ku Jaranguda, tahpe Gongsol Kampung Merdeka. Lane pagi kalak ku uruk gundaling, mbuesa tei kuda kerah la daring.

(I turiken Bapa Egi Sitepu, Jakarta)